RESEME BUKU “PERAN CIA DALAM PENGGULINGAN SUKARNO”
RESEME BUKU “PERAN CIA DALAM PENGGULINGAN SUKARNO”
Menurut Harold Crouch, menjelang 1965, staf umum AD Indonesia terpecah mejadi dua kubu. Kubu kelompok tengah adalah Yani dan kawan-kawan, yang bersikap menentang menentang Presiden Sukarno tentang Persatuan Nasional, dimana PKI masuk di dalamnya. Kubu yang kedua adalah golongan kanan yang didalamnya termasuk para jenderal, seperti Nasution, Soeharto dan lain-lain, yang sikapnya menentang kebijakan Yani dan Sukarnois. Semua jenderal itu adalah anti-PKI, dan menjelan tahun 1965, isu-isu (seputar kesehatan) Sukarno telah memecah mereka.
Gestapu hanya merupakan tahap pertama dari suatu coup golongan kanan yang mempunyai tiga tahap:
- Gestapu, coup oleh sayap kiri gadungan;
- KAP Gestapu atau jawaban anti-Gestapu, yaitu tindakan balasan dengan cara membunuh PKI secara missal; dan
- Pengikisan secara terus-menerus terhadap kekuatan Sukarno yang masih tersisa. Suatu coup yang secara terbuka dikobarkan dan secara rahasia dibantu oleh juru bicara dan para pejabat AS.
Bab II, AS dan “Misi” Angkatan Darat Indonesia.
Sejak tahun 1953, AS menyimpan kepentingan untuk membantu mencetuskan krisis di Indonesia, yang diakui sebagai “penyebab langsung” dan merangsang Sukarno pada tanggal 14 Maret 1957 untuk mengakhiri sistem parlementer serta menyatakan berlakunya “korps perwira” secara resmi ke dalam kehidupan politik.
Usaha-usaha utama CIA ditujukan kepada partai-partai poltik berhaluan kanan khususnya Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Jutaan dolar yang telah diberikan oleh CIA untuk Masyumi dan PSI pada pertengahan tahun 1950, adalah factor yang mempengaruhi peristiwa-peristiwa tahun 1965 dimana seorang bekas anggota PSI, yaitu Sjam, “dimainkan” sebagai otak Gestapu. Sjam alias Kamaruzzaman, terdakwa sekaligus saksi utama dalam siding – siding Mahmilub, menurut Wertheim, adalah “seorang kader PSI” pada tahun 1950an yang mempunyai hubungan dekat dengan Kolonel Soeharto, yang serinkali datang dan bermalam sirumahnya di Yogyakarta.
Pada tahun 1975, suatu komisi yang dipilih Senat untuk mempelajari CIA menemukan apa yang dinamakan “beberapa bukti tentang keterlibatan CIA dalam benyak rencana pembunuhan terhadap Sukarno”. Pada tanggal 1 Agustus 1958 setelah kegagalan yang diperolehdari serangkaian pemberontakan yang disponsori CIA, pihak AS mulai melaksanakan suatu program bantuan militer kepada Indonesia hingga mencapai jumlah $20 juta setahun.
Lalu didirikanlah SESKOAD tahun 1958 di Bandung yang mendapatkan dukungan penuh dari Pentagon, RAND dan Ford Foundation. Jenderal Suwarto yang pernah dididik di AS yang bisa memainkan peran penting dalam mengubah AD dari fungsi revolusioner menjadi kontra revolusi ditunjuk sebagai penanggung jawab sekolah tersebut. Di bawah Nasution dan Suwarto, SESKOAD mengembangkan suatu doktrin strategis baru yakni doktrin Perang Wilayah, yang memberi prioritas kepada kontra pemberontakan sebagai peranan AD. Soeharto masuk SESKOAD dengan pangkat Kolonel (Oktober 1959) dan menjadi siswa yang sangat “berbakat”. Terbukti, dia dilibatkan dalam penyusunan doktrin perang wilayah serta dalam kebijaksanaan AD mengenai Civic Mission/Civic Action.
Di SESKOAD, perwira AD -dan sipil yang pro PSI- juga diajari bidang ekonomi dan administrasi kepemerintahan sehingga AD mulai bisa bekerjasama dan bahkan berani menandatangani kontrak-kontrak dengan perusahaan AS serta negara asing lainnya di luar kesepakatan rezim BK.
Pada tahun 1962, Kemlu AS dibantu CIA mendirikan MILTAC (Military Training Advisory Group=Kelompok Penasehat Latihan Militer) di Jakarta untuk memberikan bantuan dalam melaksanakan program Civic Mission SESKOAD. Program ini sebenarnya merupakan penyusupan perwira AD ke dalam semua bidang kegiatan pemerintah dan tugas-tugas kepemerintahan. Terbukti, huru-hara anti Cina diilhami AD terjadi di Jawa Barat tahun 1959 dengan Kolonel Kosasih yang membiayai komplotan bajingan-bajingan setempat dengan tujuan merusak hubungan Indonesia dengan Cina. Kemudian disusul huru-hara mahasiswa bulan Mei 1963 dan diulangi Januari 1966 di Bandung dan Oktober 1965 di Jakarta.
Menjelang Agustus 1964, Soeharto mulai mengadakan kontak politik dengan Malaysia, Jepang, Inggris dan AS. Menurut Mrazek, kontak Soeharto itu merupakan penjajagan untuk berdamai dengan menarik pasukan AD Indonesia yg terbaik (yang anti komunis) ke Jawa dengan sebelumnya mengirim satu batalyon Diponegoro (yang telah disusupi PKI) ke Malaysia yang bisa dipahami sebagai persiapan-persiapan untuk merebut kekuasaan pemerintahan.
Pada 30 September, 6 jenderal (Yani, Suprapto, Sutoyo, S. Parman, MT. Haryono, DI Panjaitan), 1 pamen (Tendean), 1 pama (KS Tubun) tewas oleh gerakan Letkol Untung cs. Uniknya, tak seorangpun jenderal anti Sukarno yang menjadi sasaran Gestapu, kecuali Nasution yang bersifat problematik; yakni menjelang 1961, CIA kecewa karena Nasution yang diproyeksikan menyingkirkan Sukarno justru berbalik mendukung Sukarno, dan dia mengkritik keterlibatan USA dalam Perang Vietnam. Sikap Soeharto dengan Nasution juga dingin karena kasus pemeriksaan Nasution terhadap korupsinya Soeharto pada tahun 1959 saat menjadi Pangdam Diponegoro. “Menjadi semakin aneh” ketika Soeharto yang saat itu pegang komando pasukan terbesar (Pangkostrad) justru “tidak masuk” dalam daftar penculikan.
Pernyataan Untung atas nama Gestapu yang melindungi Sukarno dari “Dewan Jenderal” yang didukung CIA yang akan merencanakan coup sebelum 5 Oktober 1965 dengan disiagakan pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Padahal, pasukan tersebut diundang ke Jakarta dalam rangka memperingati Hari ABRI, 5 Oktober 1965. Menjadi aneh ketika Soeharto kemudian membuat pernyataan susulan untuk menumpas Gestapu dengan menyatakan loyalitas AD tetap ke Sukarno dan menuduh PKI ditambah unsur AURI yang membunuh 6 jenderal hanya karena lokasi sumur Lubang Buaya dekat dengan Pangkalan Halim. Keberadaan Sukarno, Oemar Dhani (KSAU) dan DN Aidhit (Ketua PKI) yang diskenariokan sedemikian rupa (mereka di Halim) menjadi senjata yang ampuh untuk mendelegitimasi image Sukarno agar menimbulkan kesan negatif adanya persekongkolan Sukarno -AURI dan PKI. Peranan Soeharto begitu penting dalam skenario ini. Berlagak sebagai pembela status quo tapi pada kenyataannya justru bergerak sendiri secara berencana untuk merebut kekuasaan. Sebuah skenario yang kemudian ditiru oleh Jenderal Pinochet di Chili (1970-1973) dan juga di Kamboja (1970).
Menarik karena baik pelaku Gestapu (Untung Cs) ataupun yang menumpasnya adalah sama-sama dari Divisi Diponegoro (Yon 454), tempat di mana Soeharto dulu menjadi Pangdamnya. Semakin menarik karena fakta banyak pemimpin Gestapu adalah lulusan pendidikan AS. Jadi ada kelanjutan/kontinuitas antara hasil yang dicapai Gestapu (membunuh Yani cs), kemudian diteruskan oleh Soeharto atas nama penumpasan Gestapu, kemudian menyingkirkan pendukung Sukarno yang tersisa.
Pembunuhan besar-besaran secara sistematis kemudian menyebar dan justru paling dahsyat terjadi ketika Danjen RPKAD, Kol. Sarwo Edhie bergerak dari Jakarta ke Jateng dan Jatim kemudian balik lagi ke Jakarta. Orang sipil yang terlibat dalam pembantaian massal telah dilatih di daerah setempat oleh AD atau dikerahkan dari kelompok (SOKSI dan organisasi mahasiswa Gemsos yang disponsori oleh AD dan CIA), yang selama bertahun-tahun telah bekerjasama dengan AD mengenai masalah-masalah politik; apa yang disebut sebagai Civic Action.
Bab III, Langkah – langkah AS Menghadapi Sukarno
Amerika Serikat tidak hanya menentang PKI di Indonesia, tetapi juga menentang semua politik pemerintahan yang mungkin bersahabat dengan Cina – Sovyet. Gejala tersebut mengharuskan AS berusaha keras mencegah kemungkinan semakin kuatnya blok Cina – Sovyet. Setelah Lyndon Johnson menjadi Presiden AS, boleh dikatakan segera terjadi perubahan politik yang lebih anti Sukarnois. Buktinya adalah dengan penghentian bantuna ekonomi yang menurut Dubes Howard Jones pernah dinyatakan oleh Kennedy akan tetap diberikan “hamper sebagai bantuan ekonomi rutin”. Penghentian ini menimbulkan dugaan bahwa memburuknya hubungan ekonomi dalam kurun waktu 1963-1965, menurut AS, adalah lebih banyak bersifat politik dan bukannya kerena tak ada minat untuk menjaga kelangsungan hubungan tersebut.
Bab IV, Dukungan AS Terhadap Faksi Soeharto Sebelum Gestapu
Beberapa bulan sebelum terjadinya Gestapu, seorang utusan Soeharto mempunyai hubungan lama dengan CIA (Kolonel Walandouw) telah menghubungi pemerintah AS. Sejak awal bulan Mei 1965, pemasok – pemasok militer AS yang mempunyai hubungan dengan CIA sedang merundingkan penjualan perlengkapan degan komisi – komisi dengan melalui jasa perantara. Sehingga seakan – akan menciptakan hadiah – hadiah bagi orang – orang yang bukan pendukung Nasution dan Yani yang notabene merupakan pemimpin – pemimpin resmi angkatan bersenjata. Padahal sebaliknya yang terjadi, hadiah tersebut diperuntukan bagi pendukung – pendukung fraksi ketiga dalam AD yang sampai saat itu kurang dikenal, yaitu Mayjend Soeharto. Baru pada tahun 1984, diakui bahwa dana-dana rahasia yang dikelola oleh angkatan udara AS (mungkin atas nama CIA), diperhalus sebagi komisi penjualan perlengkapan dan jasa-jasa Lockhead, dengan tujuan untuk membagikan hadiah yang bermotifkan politik kepada personel militer di luar AS. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Senat pada tahun 1976 terhadap hadiah-hadiah tersebut mengungkapkan bahwa pada bulan Mei 1965, komisi-komisi Lockhead di Indonesia telah dialihkan kepada kontak baru dari perusahaan yang telah lama dibina.
Bab V, “OPERASI… (Satu kata Dihilangkan)” CIA Tahun 1965
Sudah terjadi jauh lebih banyak kontak – kontak antara kekuatan antic komunis di negeri ini dengan paling tidak seorang pejabat Washington yang berkedudukan sangat tinggi sebelum dan selama terjadinya pembantaian missal di negeri Indonesia daripada yang diketahui oleh umum. Sedangkan mengenai CIA dalam tahun 1965 kesaksian dari bekas pejabat CIA, Ralph McGehee, yang anehnya telah dibenarkan oleh sensor selektif bekas – bekas majikannya dalam CIA. Dimana diperlukan keadaan atau bukti – bukti mengenai kurangnya campur tangan AS. Maka dapat dikatakan, CIA menciptakan situasi dan kemudian menyebarluaskan distorsi yang sebenarnya ke seluruh dunia melalui operasi media massanya. Hal seperti tipu muslihat yang dilakukan CIA ini dilakukan di beberapa Negara seperti Chili, Laos dan juga di Indonesia pada tahun 1955.
Bukti-bukti keterlibatan CIA dalam penggulingan Soekarno, diantaranya: Pertama, kurang dari setahun setelah Gestapu dan pertumpahan darah, dengan riang-gembira James Reston menulis tragedi kemanusiaan besar tersebut dengan tema “Suatu Percikan Sinar di Asia“: “Washington bersikap hati-hati untuk tidak menyatakan suatu pujian terhadap adanya perubahan yang…… di dalam negeri yang berpenduduk terbanyak ke-6 di dunia, serta salah satu negara terkaya di dunia, akan tetapi tidaklah berarti bahwa Washington sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan peristiwa tersebut“.
Kedua, adanya kontak-kontak kekuatan anti komunis Indonesia dengan seorang pejabat Washington yang berkedudukan sangat tinggi sebelum dan selama masa pembantaian massal. Ketiga, adanya kesaksian dari bekas pejabat CIA, Ralph McGehee yang dibenarkan oleh sensor selektif bekas-bekas majikannya dalam CIA.
Strategi yang diciptakan CIA untuk menggoyang sebuah rezim, dengan menciptakan situasi yang sebenarnya dan mencampurinya kemudian menyebarluaskan distorsi skenario ke seluruh dunia melalui propaganda media massanya yang kuat. Tipu muslihat CIA merupakan suatu rencana klasik yang bersifat menggoyahkan situasi, yaitu berusaaha meyakinkan baik pihak kanan ataupun kiri agar tidak bisa berharap mendapatkan perlindungan dari status quo dan berusaha merangsang keduanya untuk melakukan provokasi yang kian massif terhadap pihak lawan.
Gaya tipu dan polarisasi ini dilakukan dengan melempar desas-desus. Hal ini dikuatkan oleh seorang pengamat politik, Saundhaussen. Desas-desus itu diantaranya, dua minggu sebelum Gestapu (14 September 1965); pihak AD diperingatkan bahwa ada suatu komplotan yang akan membunuh pemimpin-pemimpin tentara dalam empat hari mendatang. Laporan kedua seperti itu telah dibahas di markas besar AD 30 September 1965. Setahun sebelumnya, muncul juga dokumen yang menuduh PKI sedang merencanakan suatu penyusupan ke AD untuk menggulingkan “kaum Nasutionis” (diberitakan sebuah harian Malaysia dari Khoirul Saleh, pro-AS). Juga desas-desus selama 1965 bahwa Cina daratan sedang menyelundupkan senjata-senjata untuk PKI sebelum Gestapu (diberitakan oleh sebuah harian Malaysia, mengutip dari sumber Bangkok, yang berdasar dari Hongkong).
Propaganda, tipu-muslihat CIA yang melibatkan media massa multinasional ini menjadi ciri khas “Wurlizzer Perkasa“; yaitu jaringan pokok pers dengan jaringan dunia, yang melalui jaringan pers CIA atau lembaga rekanan seperti M16 yang sangat sulit ditelusuri sumbernya. CIA sangat pintar masuk ke isu, kemudian seolah-olah itu anti AS, padahal baik sisi kiri ataupun kanan sedang masuk dalam perangkap CIA.
Keberhasilan kasus Jakarta sangat menginspirasi CIA untuk kemudian menjatuhkan rezim-rezim yang “tidak direstui” Washington, seperti rezim di Laos (1959/1961), rezim Sihanouk di Kamboja pada tahun 1970, dan penggulingan Allende di Chili pada tahun 1973 dengan sandi “Jakarta se acerca” (Jakarta sedang mendekat).
Di Chili, karena pihak militer masih enggan untuk melawan Allende, CIA membuat sebuah dokumen palsu yang membongkar suatu rencana komplotan kiri untuk membunuh para pemimpin militer Chili. Berita tersebut kemudian disebarluaskan oleh media massa aliansi CIA yang membuat militer Chili terpancing, terprovokasi dan terjebak skenario CIA. Tak lama kemudian Presiden Allende digulingkan dan dibunuh oleh kaum militer.
OLEH : UPIK NOVIANI 3101409001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar